S#10: Bekal Untuk Masa Depan
Hore!
Hari Baru, Teman-teman.
Bagi orang-orang yang mempunyai penghasilan tetap, tidak perlu khawatir kalau bulan depan akan makan apa. Beda dengan mereka yang penghasilannya tidak menentu. Kadang dapat sedikit. Kadang dapat banyak. Kadang sedikit sekali. Kadang banyak sekali. Dan. Kadang tidak mendapatkan apa-apa sama sekali. Makanya, memikirkan bekal untuk masa depan itu sangat penting. Jelas sekali jika orang tidak berpenghasilan tetap itu hidupnya amat riskan. Tampaknya sih begitu. Tapi nyatanya tidak selalu demikian. Dalam banyak situasi, orang berpenghasilan tetap justru lebih banyak pusingnya ketika pengeluaran mereka melampaui penghasilan. Lebih repot. Karena sudah terbayang setiap bulan akan begitu terus. Kecil harapan akan ada kelebihan kecuali menunggu bonus setahun sekali. Itupun sudah ada cadangan tersendiri; melunasi tunggakan kartu kredit. Jadi, bekal apa yang bisa kita siapkan untuk masa depan? Sebelum sampai kesitu, perlu juga didefinisikan; seberapa jauh sih 'masa depan' itu? Sampai usia 75 tahun? Sampai semua anak kita punya keluarga sendiri? Atau, Anda punya definisi lain?
Tidak seperti biasanya, tahun ini Pak Kiyai harus mengambil keputusan yang sulit. Ada dua santri yang sama pandainya. Sama tinggi ilmunya. Sama mumpuni kemampuannya. Tradisi di pesantren selalu menobatkan santri terbaik. Siapa yang terbaik tahun ini? Sulit untuk diputuskan. Akhirnya, Pak Kiyai memberi keduanya tugas penting, yaitu: Mengembara selama 10 tahun untuk mengumpulkan bekal bagi masa depan.
"Mengapa harus selama itu?" tanya semua orang.
Pak Kiyai menjelaskan bahwa ilmu mesti bisa diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan pengamalan yang sesungguhnya bukanlah yang angin-angian atau musiman. Byar pet seperti listrik yang kehabisan tegangannya karena gas dan batu bara dijual murah ke negara lain. Mesti melekat sepanjang hayat. Waktu 10 tahun bolehlah mewakili rentang waktu yang cukup untuk menilainya. Maka kedua santri senior paling pandai itu pun berangkat memenuhi misinya.
Sepuluh tahun kemudian, kedua santri pintar itu kembali menghadap Pak Kiyai. Keduanya sudah siap menunjukkan seberapa banyak bekal masa depan yang berhasil mereka kumpulkan. Santri pertama menunjukkan daftar kekayaannya yang sudah diaudit. Rumah, mobil, tanah, emas, saham, dan berbagai macam kepemilikan. Jumlahnya cukup untuk tujuh keturunan. Pak Kiyai bahagia sekali. "Santri harus seperti itu," kata beliau. "Biar takwa, asal kaya..." halah, Pak Kiyai pake bercanda segala. Tapi benar pesannya. Orang soleh itu sebaiknya bisa kaya juga. Jangan bersembunyi pada kesolehan untuk melegitimasi kemiskinan, begitu nasihat beliau selanjutnya. Lulus, dengan summa cum laude. Begitulah predikat yang didapat oleh santri pertama.
Giliran santri kedua.
"Mana daftar bekal untuk masa depanmu?" Begitu dia ditanya.
Tidak perlu daftar kekayaan. Karena katanya, selama 10 tahun itu dia hanya bisa memiliki sebuah payung. Ditambah satu rumah. Dan kendaraan. Rumah itu sudah menjadi milik istrinya. Sedangkan kendaraan tengah dipakai istrinya mengatar anak-anak sekolah. Jadi dia hanya bisa membawa payung itu saja sebagai buktinya. Lantas apa yang tersisa untuk masa depannya? Dia hanya menjawab kalau akan terus berikhtiar hingga akhir hayatnya. Insya Allah.
Sekarang tidak sulit lagi untuk memutuskan siapa santri yang layak mendapatkan predikat terbaik. Namun sebelum mengumumkan keputusan itu, Pak Kiyai bertanya sekali lagi. "Kamu itu sama pandainya. Dan sama gigihnya. Mengapa hanya mendapatkan bekal masa depan sekedar sebuah payung?" demikian pertanyaan terakhirnya.
"Benar guru," jawab santri kedua itu. "Berkat bimbingan guru, saya dapat memperoleh bukan sekedar ilmu ibadah tapi juga ilmu untuk mendapatkan dunia." Perkataannya tidak menarik simpati orang karena tidak menjawab esensi pertanyaan yang diajukan. "Adapun perolehan harta yang saya dapatkan hanya saya ambil seperlunya saja. Selebihnya, saya berikan kepada siapa saja yang lebih membutuhkan....."
Seketika itu juga para juri dan hadirin terpukau. Sekarang mereka mengerti, mengapa santri kedua yang sama hebatnya itu kok bisa kalah dalam mengumpulkan bekal masa depan. Pengumuman pun dibatalkan. Karena menurut keputusan yang dihasilkan dari hasil diskusi dewan juri dan masukan hadirin santri kedua pun tidak kalah banyak bekalnya. Bedanya, jika santri pertama mengumpulkan bekal hingga tujuh keturunannya bisa terjamin hidupnya. Sedangkan santri kedua mempunyai bekal kehidupan akhirat yang tidak kalah banyaknya. Kedua jenis bekal itu, sama pentingnya. Sama bobotnya. Sama kualitasnya. Maka, skor mereka pun kembali seri.
"Sudahlah Pak Kiyai, kami tidak membutuhkan gelar menjadi yang terbaik," kata kedua santri itu. "Apa yang kami raih sudah lebih dari cukup bagi kami." mereka tidak ingin Kiyai yang sudah berhasil mendidiknya masih direpotkan oleh urusan remeh temeh itu. "Ajaran Pak Kiyai telah menjadikan kami sukses seperti saat ini..."
Pak Kiyai terharu mendengar perkataan mereka. Tidak ada kebahagian bagi seorang guru selain melihat anak didiknya yang pandai itu juga mempunyai akhlak mulia. Namun, Pak Kiyai tidak bisa mengingkari tradisi memilih santri terbaik. Itu adalah amanah dari para sesepuh pesantren sebelumnya. Tradisi itu lebih dari sekedar seremoni. Itu adalah momen penting untuk memberi contoh kepada santri-santri lainnya. Maka Pak Kiyai pun bertitah; "Sepuluh tahun lagi," katanya. "Kalian kembali kesini."
Maka, kedua santri itu pun menurut saja. Mereka kembali menjalani aktivitas seperti biasa. Dalam fase kedua itu mereka merasakan nalurinya yang makin terasah. Santri pertama, menemukan bahwa harta itu ternyata mempunyai sifat adiktif. Setiap kali dia mendapatkan sejumlah uang, dia menjadi semakin bersemangat lagi untuk mendapatkan uang lainnya. Semakin hari, dia menjadi semakin tertarik kepada harta. Seperti magnet saja. Harta selalu menarik minatnya. Atau, mungkin sebaliknya; dia menjadi magnet bagi uang dari berbagai macam arah. Dia terus menggunakan uang yang didapatkannya untuk menghasilkan uang lainnya. Pokoknya, seolah-olah uang selalu mengikuti kemana pun dia pergi. Bahkan sekalipun ketika dia tidak memintanya. Uang datang begitu saja. Dia, tidak lagi mengetahui darimana saja sumber uang yang didapatkannya. Hingga akhirnya dia pun tidak lagi mempermasalahkan bagaimana, dari mana, atau dari siapa. Segalanya mengalir begitu saja. Tidak salah lagi; dia akan bisa mengumpulkan bekal untuk masa depan yang paling banyak.
Santri kedua, menemukan bahwa amal baik itu ternyata mempunyai sifat adiktif. Setiap kali selesai melakukan kebaikan, dia menjadi semakin bersemangat lagi untuk melakukan kebaikan lainnya. Semakin hari, dia menjadi semakin tertarik pada hal-hal yang baik. Seperti magnet saja. Kebaikan selalu menarik minatnya. Atau mungkin sebaliknya; dia menjadi magnet bagi kebaikan dari berbagai macam arah. Dia terus menggunakan kebaikan yang didapatkannya untuk menghasilkan kebaikan lainnya. Pokoknya, seolah-olah kebaikan selalu mengikuti kemana pun dia pergi. Bahkan sekalipun ketika dia tidak memintanya. Ladang kebaikan datang begitu saja. Dia, tidak lagi mengetahui darimana saja sumber kebaikan yang didapatkannya. Hingga akhirnya dia pun tidak lagi mempermasalahkan bagaimana, dari mana, atau kepada siapa. Segalanya mengalir begitu saja. Tidak salah lagi; dia akan bisa mengumpulkan bekal untuk masa depan yang paling banyak.
Sudah sepuluh tahun berlalu. Hari penilaian pun tiba. Panitia yang terdiri dari para santri tahun kelima sudah mempersiapkan segala sesuatunya di aula pesantren yang telah dipadati oleh pengunjung dan para santri muda. Dewan juri sudah siap dengan naskah daftar pertanyaan serta pulpen dan kalkulator. Namun, setelah dinantikan lama sekali. Kedua santri senior itu tidak kunjung datang. Mungkinkah mereka merasa sudah tidak perlu lagi gelar sebagai santri terbaik? Aneh. Bukankah saat ini orang berlomba mencari gelar? Bahkan tidak sedikit yang menempelkan gelar buat dirinya sendiri. Acara hampir saja dibubarkan ketika datang telegram. Dari rumah sakit. Telegram ini memaklumatkan bahwa takdir Ilahi telah menentukan jika kedua santri teladan itu wafat dalam perjalanan menuju pesantren. Maka untuk pertama kalinya dalam sejarah pesantren berusia ratusan tahun itu ada angkatan yang tidak menobatkan santri terbaik. Kedua santri itu menjadi legenda, yang tetap hidup abadi dihati para Kiyai dan santri selama puluhan tahun kemudian. Kisah hidup mereka menjadi topik bahasan khusus dalam studi kasus yang dibahas di kelas-kelas berselang seling dengan telaah berbagai macam kitab klasik maupun modern.
Bagaimana dengan kedua santri itu? Dikisahkan saat itu mereka tengah berada dipadang mahsyah. Sebuah lapangan luas yang setiap orang. Raja dan rakyat jelata. Si kaya dan si miskin. Si baik dan si uruk. Si mancung dan si pesek. Semua orang. Akan melintasi lapangan luas itu ditengah terik matahari akhirat. Hanya tindakannya selama hidup didunia saja yang bakal menjadi teman setianya dalam menjalani hari yang sulit itu. Semua sudah didata. Semua data itu dikalkulasikan. Lalu dikonversinya menjadi jumlah atau jenis bekal yang bisa mereka bawa. Lalu dimasukkan kedalam deposit box bertulisakan nama masing-masing. Maka begitulah kedua santri mendapatkan deposit boxnya sendiri-sendiri. Ada dua kotak perbekalan. Masing-masing bertuliskan 'Santri pertama', dan 'Santri kedua". Keduanya mafhum. Inilah bekal untuk masa depan yang telah mereka kumpulkan selama 20 tahun itu.
Mereka pun segera membuka kotak perbekalannya masing-masing. Santri pertama, mendapati sebuah payung dalam deposit boxnya. Sedangkan santri kedua, mendapati kotak perbekalannya berisi pintu mobil. Tentu saja keduanya heran; mengapa bisa begitu? Terbalik. Harusnya, santri pertama yang mendapatkan pintu mobil. Sedangkan santri kedua yang mendapatkan payung. Lha, kok sekarang malah dibalik begini. Mungkin malaikat salah menaruh perbekalan. Jelas sekali jika pintu mobil itu mirip dengan pintu mobil santri pertama semasa hidup. Sedangkan payung itu, mirip kepunyaan santri kedua.
Seperti ketika hidup. Panggilan dari dalam hati mereka ditentukan oleh adiksi masing-masing. Santri pertama yang adiksinya uang dan harta itu tentu lebih tertarik dengan pintu mobil daripada payung. Sedangkan santri kedua yang adiksinya kebaikan selalu ingin memberikan hal terbaik bagi siapa saja. Maka seperti biasanya, dia memberikan isi kotak perbekalannya kepada 'yang lebih membutuhkan'. Maka, pintu mobil itu pun berpindah tangan ke santri pertama. Sedangkan santri kedua, mendapatkan kembali payung yang semasa hidup setia menemaninya. Sekarang, setiap orang sudah mendapatkan kembali segala cinta, gairah dan keganderungannya seperti ketika masih hidup dulu.
Setelah pertukaran itu, mereka pun bersiap memulai menjelajahi padang mahsyar menuju sidang pengadilan terakhir dihadapan majlis Tuhan. Menurut cerita dalam kitab-kitab sahih, waktu satu hari disana setara dengan 50,000 tahun di bumi. Lima puluh ribu tahun di bumi. Kitab-kitab sahih itupun mengabarkan jika matahari akhirat itu panasnya beribu kali lipat dari mata hari bumi. Dan letaknya, persis diatas ubun-ubun setiap orang. Maka mereka pun bersiap untuk melalui perjalanan berat itu dengan perbekalannya masing-masing. Sebelum berangkat, kedua santri itu saling berpelukan. Lalu masing-masing saling mengajukan satu pertanyaan.
Santri pertama mendahului;"Kenapa kamu senang sekali dengan payung lusuhmu itu?"
Santri kedua menjawab;"Saudaraku, kalau nanti aku kepanasan. Setidaknya payung ini bisa aku gunakan untuk berteduh dari terik matahari....." katanya. "Lantas, mengapa engkau sedemikian bangganya membawa pintu mobilmu itu?" dia pun ganti mengajukan pertanyaan.
"Saudaraku," demikian santri pertama menjawab. "Jika nanti aku kepanasan, maka aku tinggal menekan tombol saja; agar kaca jendelanya terbuka......"
Rupanya, kedua santri itu memang tetap sama hebatnya. Tidak ada yang kalah. Dan tidak ada yang menang. Pada fase ujian pertama, mereka sama baiknya ketika mendapatkan pemahaman atas makna dari definisi masa depan masing-masing. Yang satu berorintasi dunia. Dan yang satu berorientasi akhirat. Dua-duanya sama-sama baik. Pada fase kedua, keduanya berhasil menunjukkan ketangguhan yang sama dalam mengikuti adiksi magnetis didalam jiwanya masing-masing. Ada yang semakin sibuk dengan persiapan materinya. Dan ada yang semakin menikmati proses pengumpulan amal baiknya. Dan pada fase ujian ketiga, mereka mempunyai bekalnya masing-masing untuk melintasi padang mahsyar dimana setiap insan – tidak terkecuali siapa – akan melintasinya dalam hitungan waktu yang setara dengan l-i-m-a-p-u-l-u-h-r-i-b-u tahun waktu bumi per harinya.
Tidak ada orang yang bisa memutuskan baik dan buruk secara mutlak ketika kedua santri itu berada pada pase ujian pertama, maupun pada fase kedua. Karena setiap penilaian didunia, sifatnya nisbi. Relatif. Orang yang memandang dunia, akan silau pada dunia. Dan memberikan votingnya kepada sang pengumpul bekal harta terbanyak. Sedangkan orang yang gandrung pada kebaikan akan terpukau oleh amal soleh. Lalu memvoting sang ahli kebaikan. Semuanya bisa diperdebatkan. Karena sifat relatifnya. Namun pada fase ketiga. Barulah bisa kelihatan. Bahkan hanya dengan sekedar menggunakan logika. Pilihan jenis bekal mana yang paling masuk akal dalam menjalani saat-saat menegangkan sambil menantikan sidang Tuhan di alam akhirat. Mana yang paling logis. Akal pun bisa menerimanya dengan mudah. Apalagi iman.
Sekarang. Bukan hanya iman yang bisa memahami bagaimana Tuhan membalas setiap kebaikan itu 700 kali lipat. Lalu melipatgandakannya lagi bagi siapa saja yang dikehendakiNya. Sekarang, logika pun sudah bisa memahami firman dalam surat 2 (Al Baqarah) ayat 261 itu; dengan teramat mudah. Maka, pilihan logis manakah yang akan kita ambil. Akankah kita mengambil pilihan seperti santri pertama? Atau santri yang kedua? Hanya dengan hidayahNya kita bisa mengambil pilihan yang paling sesusai dengan kondisi masa depan kita. Dan. Itulah yang akan menjadi bekal kita. Dalam menjalani masa depan yang sesungguhnya.
Salam hormat,
Mari Berbagi Semangat!
Leadership, Career and People Develompent Trainer
0812 19899 737 or Ms. Vivi at 0812 1040 3327
Catatan Kaki:
Dizaman Rasulullah, para sahabatnya berlomba menjadi saudagar. Pengusaha. Dan pekerja giat. Kemudian, mereka menaburkan kelebihan rezekinya untuk berinfak. Di zaman sekarang, kita menyimpannya dalam rekening tabungan.
Silakan di-share jika naskah ini Anda nilai bermanfaat bagi yang lain, langsung saja; tidak usah minta izin dulu. Tapi tolong, jangan diklaim sebagai tulisan Anda sendiri supaya pahala Anda tidak berkurang karenanya.