*Ajarkan Budaya Malu*
*"Before every action ask yourself. Will this bring more monkeys on my
back. Will the result of my action be a blessing or a heavy burden?" by
Alfred A. Montapert*
*
*
*(Sebelum melakukan apapun tanyakan pada dirimu. Akankah ini menambah lebih
banyak beban di pundakku? Apakah hasilnya merupakan berkat atau beban
berat? Oleh Alfred A. Montapert)*
Secara umum orang Barat menilai orang-orang di Asia (baca: orang Indonesia)
adalah orang-orang yang pemalu. Saat saya sekolah di Denver, Amerika
Serikat, stereotype yang paling sering saya dengar adalah: " Those Asians
are very shy, when you ask them to engage in a discussion most of them will
just being passive, they will just nod or say yes to agree with you. They
are too polite to even state their disagreement." (Orang-orang Asia ini
sangat pemalu, ketika Anda mengajaknya berdiskusi kebanyakan mereka
bersifat pasif, mereka hanya akan mengangguk atau mengatakan ya kepada
Anda. Mereka terlalu sopan untuk membantah walau sebenarnya mereka tidak
setuju denganmu.)
Benarkah demikian? Saya rasa tidak! Penyebab pertama mungkin adalah
perbedaan budaya. Perbedaan budaya membuat orang Indonesia kebanyakan tidak
secara langsung membantah pernyataan seseorang. Banyak dari kita yang
dibesarkan dengan budaya sungkan, apalagi terhadap orang yang berusia di
atas kita, jabatan lebih tinggi, pendidikan lebih yahud. Kemungkinan
penyebab kedua adalah kendala bahasa, karena seperti biasa orang Indonesia
di luar negeri lebih nyaman menjawab dengan Yes No.
Lantas apa yang sesungguhnya terjadi di dalam negeri kita sendiri? Apakah
orang-orang Indonesia juga malu-malu dan pasif? Saya rasa tidak deh. Lihat
saja di lampu merah, mereka tidak segan-segan untuk maju semakin ke depan.
Pengalaman di kampus saya dulu ada seorang mahasiswi yang berbelanja di
toko dan pemilik toko mengembalikan uang lebih. Si mahasiswi ini begitu
senang mendapat uang kembalian melebihi uang yang semula diberikan kepada
pemilik toko. Seorang teman saya kemudian bertanya kepadanya: "Kamu nggak
malu ambil uang haram begitu? Itu kan kerugian bagi pemilik toko."
Mahasiswi tersebut kemudian menjawab dengan sangat enteng: "Ya nggaklah.
Dia kan punya toko besar, keuntungannya banyak. Apalah arti uang segitu
dibanding pendapatan dia."
Pembaca, minggu lalu saya juga mengalami (untuk kedua kalinya) artikel saya
diambil oleh seorang guru dan guru tersebut menaruh artikel saya yang
berjudul "Perubahan Kurikulum" di websitenya tanpa mencantumkan nama saya
sebagai penulis ataupun sumber dia mengambil artikel tersebut. Untuk
menutup perbuatannya guru tersebut merubah tanggal postingan dua minggu
lebih awal. Bagi orang awam, fakta bisa dimainkan…kejadian menjadi
terbalik. Justru seakan-akan saya yang mengambil artikel tersebut bukan?
Saya sangat kecewa, karena plagiator ini seorang guru. Guru! Yang sejatinya
paham etika dalam mengutip atau mengambil artikel orang lain harus
mencantumkan nama pengarang atau sumber artikel. Saat para guru, edukator
dan pemerhati pendidikan sedang giat-giatnya berseru untuk menanamkan
pendidikan karakter ke dalam kurikulum yang baru, ada yang menodai dengan
perbuatan mencuri. Bagaimana siswa bisa mempunyai karakter JUJUR bila ia
mengetahui dan melihat perbuatan gurunya ini?
Setelah saya renungkan, tujuan saya menulis adalah karena saya senang
menulis. Bila tulisan saya bisa menjadi sumbangsih ke dunia pendidikan
kita, saya akan terus menulis. Saya percaya bila kita menginginkan
perubahan, diri kita sendirilah yang harus berubah. Bila ada yang merasa
artikel saya berguna dan ingin menggunakannya, saya sudah mendapat kepuasan
karena telah memberikan sesuatu yang bermanfaat kepada pembaca saya. Maka
saya akan terus menulis…karena seorang penulis tugasnya menulis!
Kembali ke topik semula: bagaimana mengajarkan budaya malu kepada anak-anak
kita? Apa sebenarnya arti malu? Kapan seseorang harus merasa malu atas
perbuatannya? Mana kriteria untuk membedakan perbuatan yang disebut yang
BERANI dan yang MEMALUKAN? Apa itu malu-malu? Sepertinya di artikel ini
saya akan menjadi ahli bahasa…hahaha.
Apa sebenarnya arti kata malu? Di salah satu kamus on-line Bahasa Indonesia
disebutkan bahwa malu adalah merasa sangat tidak enak hati (hina, rendah,
dsb) karena berbuat sesuatu yg kurang baik, kurang benar, berbeda dengan
kebiasaan atau norma. Ada juga yang mengartikannya sebagai rasa kurang
senang karena merasa diri hina, rendah dan tidak layak. Saya tidak tahu
siapa yang menulis itu, tapi saya pribadi tidak setuju dengan definisi yang
kedua, karena arti yang kedua itu sebenarnya bukan MALU, tapi MINDER.
Saya lebih suka mendefinisikan *malu sebagai suatu perasaan tidak enak
karena diri sendiri (atau orang lain) telah melakukan suatu perbuatan tidak
terpuji, berperilaku tidak sesuai norma kesopanan, atau telah mengakibatkan
kerugian atau penderitaan pada diri sendiri atau orang lain.*
Apa bedanya dengan kata malu-malu? Malu-malu berarti tidak bersedia
melakukan sesuatu karena menimbulkan perasaan gugup dan tidak nyaman.
Malu-malu juga bisa berarti merasa gugup, tidak nyaman atau malu di depan
orang lain (biasanya yang belum dikenal). Secara fisik biasanya dengan
gampang terlihat karena munculnya pipi yang kemerah-merahan, tangan
berkeringat, salah tingkah dan sebagainya.
Lantas bagaimana kita menjelaskan arti kata malu kepada seorang anak?
Apakah anak akan paham arti malu bila kita memberinya definisi kata malu
dan malu-malu tersebut? Tidak! Anak tidak akan paham. Yang anak terima bila
kita bicara kepada mereka adalah apa yang mereka lihat, apa yang mereka
dengar dan rasakan tentang suatu konsep. Terlebih anak di bawah 5 tahun,
kosa kata terbatas hanya akan membuat mereka bertanya lebih jauh yang
akhirnya membuat kesabaran Anda habis dalam menjelaskan kata malu dan
membuat mereka makin bingung.
Akan lebih praktis dan efektif bila kita memberitahu anak di bawah 5/6
tahun demikian:
"Pakai dong bajunya, keliatan ama orang tidak pakai baju kan tidak baik. *
Malu* ah."
"Dodi kalau ke supermarket dan ambil barang harus bayar dulu. Kalau tidak
nanti *malu* lho dikira kita mengambil barang orang lain tanpa bayar."
"Nina jerit-jerit di mal tadi karena Papa nggak mau beli mainan baru untuk
Nina. Mama jadi *malu* lho dilihatin orang banyak."
Untuk anak yang sudah duduk di bangku SD, Anda sudah bisa mengajak mereka
berdiskusi untuk menilai sendiri perbuatan mereka, apakah itu perbuatan
yang memalukan dan harus dikoreksi, apakah itu hanya malu-malu.
Orang tua: "Aldo, Tante sebelah rumah bilang kamu meminjam mainan Desy dan
sampai sekarang belum kamu kembalikan. Sekarang sudah ada sekitar 10
mainan. Betulkah?"
Aldo (tertunduk): "Ya Ma. Tapi sebagai gantinya Aldo membantu Desy
mengerjakan PR mereka. Jadi wajar dong mereka harus pinjamkan mainan ke
Aldo."
Orang tua: "Aldo, Mama senang kamu mau menolong Desy dengan PR-PRnya. Kamu
punya jiwa penolong. Akan tetapi Aldo, menolong itu harus iklas, tulus.
Bila kamu mengharapkan balasan berarti pertolongan kamu itu seperti pepatah
ada udang di balik batu. Kamu menolong karena ingin mendapatkan sesuatu.
Cara tersebut tidak baik. "
Orang tua: "Mama malu karena 2 hal. Pertama, karena Tante sebelah bisa
berpikir bahwa Mama tidak mengajarkan etika kepada Aldo. Kedua, karena Aldo
tidak mengembalikan mainan yang dipinjam. Pada saat kita meminjam sesuatu,
adalah kewajiban kita untuk mengembalikan barang tersebut."
Aldo: "Iya Ma, besok Aldo kembalikan semua mainan Desy."
Orang tua: "Apakah Aldo masih mau membantu Desy mengerjakan PR nya?"
Aldo: "Mau Ma, tapi mulai sekarang Aldo akan ingat mengembalikan mainan
yang Aldo pinjam dari Desy. Dan kalau Desy tidak mau meminjamkan mainan
barunya, Aldo juga nggak apa-apa deh."
Orang tua: "Itu berarti Aldo menolong dengan tulus. Aldo membuat Mama
bangga."
Aldo: "Ma, jadi Aldo harus malu kalau menolong orang dengan maksud ingin
dapatkan barang ya?"
Mama: "Iya. Dan Aldo juga harus malu bila Aldo pinjam barang dan tidak
mengembalikannya."
Pembaca, dalam pembicaraan di atas orang tua menjelaskan dua hal mengapa
Aldo harus malu karena melakukan kesalahan. Dan alasan orang tua malu atas
perbuatan anaknya karena dua hal tersebut. Pujilah anak bila ia sudah
mengerti apa yang seharusnya ia lakukan, apa yang benar untuk dilakukan.
Jadi anak akan mengerti mana perbuatan yang terpuji, mana perbuatan yang
membuat malu, baik bagi dirinya maupun bagi orang lain (ibunya).
Saling lempar antara orang tua dan guru sering terjadi dalam hal
mengajarkan budaya malu kepada anak. Guru merasa etika adalah tugas orang
tua karena nilai (value) setiap keluarga berbeda, kultur dan budaya juga
mempengaruhi definisi atau perilaku yang patut dinilai memalukan. Orang tua
dalam hal ini juga merasa anaknya sudah disekolahkan, jadi sudah seharusnya
paham arti malu, yaitu mana perbuatan yang boleh dilakukan dan mana
perbuatan yang tidak boleh dilakukan. Dan itu dianggap murni tugas guru.
Tugas mendidik adalah tugas semua orang! Orang tua dan guru harus
bergandengan tangan. Dan jangan lupa bahwa anak belajar lebih banyak dengan
mengamati dan meniru perbuatan yang dilihatnya. Anda boleh bicara kepada
anak definisi malu di atas setiap hari sampai ia bisa menghafal luar
kepala, namun bila anak tidak tahu bagaimana mempraktekkan perbuatan yang
tidak memalukan semuanya akan sia-sia saja.
Bila saya diperkenankan untuk mengusulkan susunan kurikulum yang bisa
mencerdaskan anak Indonesia dan juga mengangkat harkat dan martabatnya
sebagai seorang manusia, saya akan memilih menitik beratkan pada
pembentukan karakternya di usia dini. Saya akan menomor duakan peningkatan
inteligensi dan ketrampilan. Untuk itu Ujian Kompetensi bagi guru haruslah
guru yang lolos seleksi untuk bisa digugu dan ditiru. Belajarlah dari
program pendidikan di Finlandia, yang diakui oleh dunia sebagai program
pendidikan yang paling sukses.
Penulis: Ling Majaya
Email: Majaya@JadiKreatif.com
"Thinking is my lifestyle."
PS: Penulis dengan senang hati menerima tanggapan, kritik, sanggahan dan
masukan dari para pembaca karena dengan demikian terjadi proses belajar
tiada henti dalam dunia pendidikan. Tugas mendidik merupakan tugas orang
tua, guru, edukator dan masyarakat. Mari bangun Indonesia yang lebih baik
melalui peningkatan potensi dan karakter putera-puteri kita.
[Non-text portions of this message have been removed]
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (1) |
No comments:
Post a Comment