Terima kasih atas tulisannya, Mas Yusran.
Kalau boleh saya kutip di tulisan saya, juga tentang pengalaman berkuliah dengan bahasa Inggris pas-pasan yang selama ini saya alami. Mungkin bisa bermanfaat juga bagi rekan-rekan di milis. Terima kasih.
http://panjifh.wordpress.com/2012/08/24/cukupkah-kemampuan-berbahasa-inggris-anda/
Salam,
Panji
--- In beasiswa@yahoogroups.com, Yusran Darmawan <timurangin@...> wrote:
>
>
> Rhenald Kasali (foto: andikaboni.blogspot.com)
>
> DUNIA akademik senantiasa penuh
> dengan mitos-mitos. Banyak yang menganggap bahwa untuk melanjutkan kuliah di
> luar negeri, maka kemampuan bahasa Inggris adalah yang paling utama dan
> segala-galanya. Tapi tahukah anda bahwa Prof Rhenald Kasali, seorang pakar manajemen
> terkemuka, berangkat kuliah ke Amerika Serikat (AS) dengan bahasa Inggris
> pas-pasan? Tahukah anda bahwa Prof Yohannes Surya juga berangkat ke Amerika
> dengan kondisi bahasa Inggris yang juga hancur-hancuran?
>
> Beberapa waktu silam, di acara
> KickAndy, Rhenald Kasali, yang mendapatkan master dan PhD di Amerika Serikat,
> berterus-terang kalau dirinya tak bisa bahasa Inggris saat lulus dari Fakultas
> Ekonomi Universitas Indonesia (UI). Ia sempat memaksa diri untuk belajar bahasa
> Inggris di tanah air selama beberapa bulan. Ternyata, ia masih saja kesulitan
> berbahasa. Akhirnya ia nekad untuk berangkat ke Amerika dan mencari program
> belajar bahasa selama tiga bulan.
>
> Lain lagi dengan Yohannes Surya.
> Pakar fisika, yang sukses mengorbitkan siswa-siswa cerdas Indonesia hingga
> meraih 75 medali emas olimpiade fisika ini, hanya memiliki Toefl 415 saat
> mengajukan beasiswa ke Amerika Serikat. Memang, ia telah mendapatkan
> rekomendasi dari seorang professor fisika yang pernah ke Indonesia, tapi
> dirinya tak bisa ngomong dalam bahasa Inggris. Masalah paling besar muncul
> karena ia diwajibkan untuk mengajar mahasiswa di program sarjana di kampus
> Amerika.
>
>
> Yohannes Surya
> (foto: physitaki.blogspot.com)
> Tantangan itu lalu dihadapinya.
> Ia lalu bergerilya mencari beasiswa yang tidak mensyaratkan nilai Toefl. Ia pun
> juga mencari kampus yang tidak terlalu peduli dengan nilai Toefl. Hingg
> akhirnya ia berhasil diterima di College of William and Mary, Virginia, yang
> program fisikanya masuk urutan lima besar di Amerika. Akhirnya masuklah Yohannes
> Surya, hingga akhirnya berhasil lulus dengan peringkat summa cumlaude atau IPK
> 4.00, sebuah prestasi yang amat hebat bagi seseorang yang awalnya tak bisa
> bahasa Inggris.
>
> Kisah keduanya adalah kisah yang
> menarik untuk ditelaah. Saya sering bertemu banyak orang hebat dan cerdas,
> namun sama sekali tak ada keinginan untuk kuliah di luar negeri. Padahal,
> dengan kecerdasan seperti itu, ia bisa bersinar di negeri orang. Saat saya
> tanyai, maka jawabannya selalu pada kemampuan bahasa Inggris. Ternyata, banyak
> yang tidak mau menjajal kemampuan untuk ikut seleksi beasiswa karena
> semata-mata minder dengan kemampuan bahasa Inggris.
>
> Pertanyaannya, apakah bahasa
> Inggris adalah faktor paling utama untuk lulus beasiswa? Lantas, ketika bahasa
> Inggris kita pas-pasan, apakah kita tidak punya kesempatan untuk belajar di
> satu kampus bergengsi di luar negeri?
>
> Nah, inilah yang saya sebut
> sebagai mitos-mitos dalam dunia pendidikan. Sewaktu kecil, saya sering
> mendengar mitos tentang sulitnya belajar matematika. Saat belajar di sekolah
> menengah, saya kembali mendengar mitos tentang sulitnya bahasa Inggris. Mitos
> ini membuat banyak mahasiswa hebat takut mencoba berbagai kesempatan untuk
> melanjutkan studi di luar negeri. Banyak pula yang merasa bakal tidak
> mendapatkan lapangan kerja yang memadai.
>
> Tapi benarkah bahasa Inggris
> adalah segala-galanya? Tunggu dulu. Sebagaimana Rhenald dan Yohannes, bahasa
> Inggris saya terbilang pas-pasan. Malah bisa dikatakan hancur. Saya alumni
> sekolah dasar dan menengah di Pulau Buton, yang infrastruktur sekolahnya bisa
> dibilang tertinggal jika dibandingkan dengan mereka yang belajar di kota besar.
> Saya tak mengenal istilah kursus-kursus bahasa di masa kecil. Jangankan
> plesiran ke luar negeri, meninggalkan pulau kecil saja amat jarang saya
> lakukan.
>
> Sebagaimana Rhenald dan Yohannes,
> saya tidak ingin terjebak pada pandangan yang melihat bahasa Inggris adalah
> segala-galanya. Dugaan saya, pandangan ini sengaja dihembuskan oleh pihak
> kursus atau program studi bahasa Inggris agar dagangannya laku keras. Maka saya
> lalu memberanikan diri untuk mengikuti seleksi beasiswa di Ford Foundation.
> Beasiswa ini tidak mensyaratkan kemampuan berbahasa, melainkan sejauh mana
> keaktifan atau karya nyata yang pernah dilakukan seorang di masyarakat.
>
> Nama saya masuk dalam 50 orang
> daftar penerima beasiswa dari seluruh Indonesia. Selama berinteraksi dengan
> mereka, saya akhirnya berkesimpulan bahwa faktor paling penting dari setiap
> seleksi beasiswa bukanlah bahasa Inggris. Yang paling penting adalah gagasan
> serta keunikan yang dimiliki seseorang. Dalam semua proses seleksi beasiswa,
> anda harus bisa meyakinkan para juri bahwa anda adalah pribadi yang unik, punya
> orisinalitas, punya gagasan yang beda dengan orang lain, serta memiliki
> keunggulan yang tak boleh dilewatkan. Namun, saya sangat menggarisbawahi
> pentingnya gagasan serta keunikan.
>
>
> Ohio University at Athens, USA
>
> Dengan kemampuan bahasa yang
> pas-pasan, saya lalu belajar di kampus Ohio University di Amerika Serikat (AS).
> Saya merasakan sendiri bagaimana menjalani kuliah dengan kemampuan bahasa
> Inggris yang pas-pasan. Namun, publik Amerika dan mahasiswa international, tak
> pernah sedikitpun meremehkan atau mentertawakan kemampuan saya. Ini sangat beda
> dengan belajar bahasa Inggris di Indonesia, yang belum apa-apa sudah
> ditertawakan atau diremehkan. Di luar negeri, semesta di sekitar kita menjadi
> unsur yang membantu kita untuk melejitkan kemampuan bahasa.
>
> Sebagaimana Rhenald dan Yohannes,
> saya meyakini bahwa kemampuan bahasa Inggris bukanlah segala-galanya. Banyak
> yang ke Amerika dengan bahasa Inggris hebat, khususnya dari golongan kaya di
> Indonesia, yang prestasinya biasa saja. Nilainya pas-pasan, padahal kemampuan
> bahsa Inggrisnya mendekati mahasiswa asing, sebab boleh jadi, sang mahasiswa
> lahir dan besar di luar negeri. Mengapa demikian? Sebab mereka hanya menekankan
> kemampuan bahasa, tanpa menghadirkan keunikan, orisinalitas, pengalaman, serta
> gagasan yang berbeda dan menggerakkan.
>
> Logikanya, meskipun anda jago
> ngomong bahasa Inggris, tapi jika anda tak tahu hendak mengomongkan apa, maka
> itu sama saja dengan nol. Sementara di saat bersamaan, ada yang tak lancar
> bahasa Inggris, tapi saat itu mencoba menyampaikan sesuatu gagasan yang
> substansial dan bernas, yang bersumber
> dari pengalaman serta refleksi yang kuat, maka pastilah sosok ini yang
> mendapatkan apresiasi.
>
> Artinya, bahasa Inggris hanyalah
> alat untuk menyampaikan ide, sesuatu yang amat penting dan lahir dari
> kontemplasi dan interpretasi atas kenyataan. Bahasa hanyalah jalan tol agar
> kendaraan gagasan bisa meluncur di lalu-lintas ide. Sebagai alat, bahasa
> bukanlah segala-galanya. Yang paling penting adalah gagasan serta keberanian
> untuk menyampaikannya, yang meskipun dalam kondisi yang terbata-bata, namun
> tetap tidak kehilangan substansinya.
>
> Buat saya, pandangan yang menilai
> bahasa segala-galanya adalah pandangan yang amat picik. Di sini, saya banyak
> melihat mahasiswa Cina dan Afrika yang datang dengan kemampuan bahasa yang
> pas-pasan, namun tak berhenti untuk mencoba sehingga akhirnya sukses.
>
>
> ilustrasi
>
> Pengalaman ini memberikan
> pelajaran bahwa di luar aspek bahasa, terdapat aspek yang lebih penting yakni
> ide atau gagasan, serta kemampuan bertahan atau daya-daya survival dalam
> menghadapi dan memecahkan semua persoalan.Tanpa kemampuan itu, kemampuan bahasa
> jadi tak ada apa-apanya. Malah, kalaupun dipaksakan ngomong, yang muncul adalah
> bualan atau omong besar yang tidak didasari penalaran yang jernih.
>
> Setelah setahun belajar dengan
> kemampuan bahasa yang masih pas-pasan, saya masih bisa bernapas lega.
> Setidak-tidaknya, saya masih bisa survive di sini. Tanpa bermaksud
> menyombongkan diri, saya bisa mendapatkan nilai terbaik di setiap kelas yang
> saya ambil.
>
> Satu hal paling penting adalah
> buka mata dan buka telinga untuk selalu belajar dari apapun di sekitar. Jangan
> mau terjebak mitos tentang bahasa Inggris. Ciptakan mitos baru bahwa bahasa Inggris
> itu bukanlah segala-galanya. Jangan minder dengan kemampuan bahasa. Jajal semua
> seleksi beasiswa. Toh, bahasa Inggris akan mudah dipelajari sambil belajar hal
> lainnya. Kita mesti belajar pada Yohannes Surya yang bahasa Inggris-nya
> pas-pasan, namun bisa lulus cumlaude di Amerika.
>
> Athens, 17 Agustus 2012
>
> BACA JUGA:
>
> Imam Bugis di Masjid Terbesar New York
>
> Petualangan RA Kosasih di Tanah Amerika
>
> Di Ohio, Buka Puasa Jam 9 Malam
>
> Syair Lirih Bangsa Indian Amerika
>
> Revolusi yang Bermula dari Kafe di Ohio
>
> Kisah Para Pengemis di Amerika
>
> Indahnya Islam di Masjid Indonesia di New York
>
> 30 Hari Mencari Masjid di Amerika
>
> Telaga Jernih Masjid Athens
>
> NEW YORK: Kota yang Luka
>
> Indahnya Islam dalam My Name is Khan
>
Reply via web post | Reply to sender | Reply to group | Start a New Topic | Messages in this topic (2) |
http://id-scholarships.blogspot.com/
===============================
INFO LOWONGAN DI BIDANG MIGAS:
http://www.lowongan-kerja.info/lowongan/oil-jobs/
===============================
INGIN KELUAR DARI MILIS BEASISWA?
Kirim email kosong ke beasiswa-unsubscribe@yahoogroups.com
No comments:
Post a Comment